Hallo sahabat Sejuta Informasi Kita, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Syari'at Puasa Ramadhan, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Agama Islam, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Sebelum mewajibkan puasa Ramadhan bagi kaum Muslimin tahun ke-2  hijriyah, Allah SWT telah mensyariatkan puasa kepada para nabi  terdahulu. 
Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, syariat puasa pertama diterima oleh Nabi Nuh AS setelah beliau dan kaumnya diselamatkan oleh Allah SWT dari banjir bandang. Nabi Daud AS melanjutkan tradisi puasa dengan cara sehari puasa dan sehari berbuka.
Dalam pernyataannya Dawud AS berkata, “Adapun hari yang aku berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari yang aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.”
Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, syariat puasa pertama diterima oleh Nabi Nuh AS setelah beliau dan kaumnya diselamatkan oleh Allah SWT dari banjir bandang. Nabi Daud AS melanjutkan tradisi puasa dengan cara sehari puasa dan sehari berbuka.
Dalam pernyataannya Dawud AS berkata, “Adapun hari yang aku berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari yang aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.”
Pernyataan Dawud AS tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR. Muslim).
Nabi  Musa AS kemudian mewarisi tradisi berpuasa. Menurut para ahli tafsir,  Musa dan kaum Yahudi telah melaksanakan puasa selama 40 hari (QS. Al  Baqarah: 40). Salah satunya jatuh pada tanggal 10 bulan Muharram yang  dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang diberikan oleh  Allah SWT dari kejaran Firaun. 
Puasa 10 Muharram ini dikerjakan  oleh kaum Yahudi Madinah dan Rasul SAW menegaskan umat Islam lebih  berhak berpuasa 10 Muharram dari pada kaum Yahudi karena hubungan  keagamaan memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan hubungan  kesukuan. 
Untuk membedakannya, Rasul SAW kemudian mensyariatkan  puasa sunah tanggal 9 dan 10 Muharram, selain untuk membedakan puasa  kaum Yahudi, juga ungkapan simbolik kemenangan kebenaran atas kebatilan.
Ibunda  Nabi Isa AS juga melakukan puasa yang berbeda dengan para pendahulunya,  yaitu dengan tidak berbicara kepada siapa pun. Allah SWT berfirman, “Maka  jika kamu melihat seorang manusia, katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah  bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapemurah, maka aku tidak akan  berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini’.” (QS. Maryam: 26).
Keempat  riwayat di atas merupakan sejarah puasa agama samawi yang menjadi  rujukan  disyariatkannya puasa dalam Islam. Adapun puasa agama ardhi  (agama buatan manusia), kendati sama sekali bukan rujukan namun mereka  juga telah melakukan puasa dengan model yang berbeda-beda. 
Sebelum  puasa Ramadhan diwajibkan, Rasul SAW telah memerintahkan kaum Muslimin  puasa Hari Asyura tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun begitu perintah puasa  Ramadhan tiba, puasa Asyura yang sejatinya ditambah satu hari oleh  Rasul SAW menjadi puasa sunah.
Tingginya tingkat kesulitan dalam  melaksanakan puasa menjadikan syariat ini turun belakangan setelah  perintah haji, shalat dan zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat tentang  puasa Ramadhan turun secara berangsung-angsur: Pertama, perintah wajib  puasa Ramadhan dengan pilihan. (QS. Al-Baqarah: 183-184). 
Kaum  Muslimin boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa, namun mereka yang  berpuasa lebih utama dan yang tidak berpuasa diharuskan membayar fidyah.  Kedua, kewajiban berpuasa secara menyeluruh kepada kaum Muslimin,  dengan pengecualian bagi orang-orang yang sakit dan bepergian serta  manula yang tidak kuat lagi berpuasa (QS. Al-Baqarah: 185). 
Awal  mulanya kaum Muslimin berpuasa sekitar 22 jam karena setelah berbuka  mereka langsung berpuasa kembali setelah shalat Isya. Namun, setelah  sahabat Umar bin Khathab mengungkapkan kejadian mempergauli istrinya  pada satu malam Ramadhan kepada Rasul SAW, turunlah QS Al Baqarah: 187  yang menegaskan halalnya hubungan suami-istri di malam Ramadhan dan  ketegasan batas waktu puasa yang dimulai dari terbitnya fajar hingga  terbenam matahari. 
Inilah syariat puasa dalam Islam yang menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama samawi yang ada sebelumnya.

